ASAL USUL BATURADEN
Tulisan ini adalah saya ambil dari hasil copy paste dari beberapa blog lain untuk melengkapi tulisan saya .
LETAK GEOGRAFIS BATURRADEN
Baturraden dikenal sebagai tempat pariwisata atau peristirahatan pegunungan sejak tahun 1928 yang memiliki hawa yang sejuk dan cenderung sangat dingin dengan suhu 18°C-25°C. Baturraden
terletak di sebelah selatan di kaki gunung Slamet dengan ketinggian
3.428 meter, merupakan gunung berapi terbesar serta gunung tertinggi
kedua di Jawa.
Baturraden terletak pada
ketinggian sekitar 640 meter diatas permukaan laut dan berjarak hanya 14
km dari pusat kota Purwokerto yang dihubungkan dengan jalan yang
memadai. Untuk mencapai taman wisata Baturraden yang terletak di daerah
Banyumas dapat menggunakan transportasi darat yang dapat dilakukan
dengan berbagai Armada Angkutan Darat: Kereta Api, Bus Antar Propinsi,
Bus Antar Kota yang menghubungkan kota-kota diseluruh Pulau Jawa
terutama tujuan Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Yogyakarta, Semarang.
Kota Purwokerto merupakan
ibukota kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Banyumas
terletak di sebelah Barat Daya dan merupakan bagian dari Propinsi Jawa
Tengah. Terletak di antara garis Bujur Timur 108° 39′ 17” sampai 109°
27′ 15” dan di antara garis Lintang Selatan 7° 15′ 05” sampai
7° 37′ 10” yang berarti berada di belahan selatan garis
khatulistiwa.Bagian utara Kabupaten Banyumas, yakni berbatasan dengan
Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, dan Purbalingga, merupakan kawasan
pegunungan yang merupakan ujung barat Pegunungan Serayu Utara. Puncak
tertingginya adalah Gunung Slamet (3.428 meter dpl), di samping terdapat
puncak lain seperti Gunung I Kucing (1.520 meter) dan Gunung I Manis
(2.163 meter). Perbukitan yang terdapat di bagian barat merupakan
perpanjangan dari Depresi Bandung di Jawa Barat. Sedangkan pegunungan
yang terdapat di bagian tenggara adalah ujung barat dari Pegunungan
Serayu Selatan, dengan puncaknya Gunung Jampang (809 meter) di
perbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara. Luas wilayah Kabupaten
Banyumas sekitar 1.327,60 km2 atau setara dengan 132.759,56 ha.
Batas-batas Kabupaten Banyumas, yaitu :
1. Sebelah Utara : Gunung Slamet, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang
2. Sebelah Selatan :Kabupaten Cilacap
3. Sebelah Barat : Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes
4. Sebelah Timur : Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara.
2. Sebelah Selatan :Kabupaten Cilacap
3. Sebelah Barat : Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes
4. Sebelah Timur : Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara.
SEJARAH BATURRADEN
Sejarah atau cerita yang
berhubungan dengan nama Baturraden itu ada dua versi, yaitu versi
Kadipaten Kutaliman dan versi Syekh Maulana Maghribi.
Baturraden berasal dari dua kata yaitu ‘Batur’ yang dalam bahasa Jawa berarti Pembantu,
Teman, atau Bukit dan ‘Raden’ yang dalam bahasa juga berarti Bangsawan.
Dilihat dari susunan kata-katanya, maka nama Baturraden terdiri dari
kata :
a. Batur – Radin, yang artinya tanah datar
b. Batur – Adi, yang artinya tanah yang indah
Dua macam nama tersebut bukan sesuatu nama yang berdiri sendiri tanpa ada kaitannya dengan wilayah lain sepanjang lereng Gunung Slamet dari arah barat ke timur sampai Dieng plateau (dataran tinggi Dieng). Disekitar Baturraden juga terdapat beberapa nama diawali dengan kata ‘Batur’, seperti; Batur Agung, Batur Golek, Batur Semende, Batur Sengkala, Batur Macan, Batur Duwur, Batur Wadas Galengan dan Batur Begalan.
a. Batur – Radin, yang artinya tanah datar
b. Batur – Adi, yang artinya tanah yang indah
Dua macam nama tersebut bukan sesuatu nama yang berdiri sendiri tanpa ada kaitannya dengan wilayah lain sepanjang lereng Gunung Slamet dari arah barat ke timur sampai Dieng plateau (dataran tinggi Dieng). Disekitar Baturraden juga terdapat beberapa nama diawali dengan kata ‘Batur’, seperti; Batur Agung, Batur Golek, Batur Semende, Batur Sengkala, Batur Macan, Batur Duwur, Batur Wadas Galengan dan Batur Begalan.
Versi Kadipaten Kutaliman
Pada Ratusan tahun silam konon
terdapat sebuah Kadipaten ‘KUTALIMAN’ yang terletak 10 km disebelah
Barat Baturraden. Adipatinya mempunyai beberapa anak
perempuan dan seorang ‘gamel’ (pembantu yang menjaga kuda). Salah satu
anak perempuannya jatuh cinta dengan gamel. Cinta mereka dilakukan
secara sembunyi-sembuyi. Sesudah mendengar berita, bahwa anak
perempuannya jatuh cinta dengan pembantunya, sang Adipati marah dan
mengusir gamel dan anak perempuannya dari rumah. Diperjalanan dia
melahirkan bayi didekat sungai, kemudian mereka menamakannya sungai
‘Kaliputra’. (Kali berarti Sungai dan Putra berarti anak laki-laki).
Letaknya kira-kira tiga kilometer sebelah utara Kutaliman. Akhirnya
mereka menemukan tempat yang indah dan memutuskan untuk tinggal di
tempat yang sekarang dikenal dengan nama ‘Baturraden’. Berdasarkan versi
pertama tersebut nama Baturaden seharusnya ditulis dengan dua ‘R’
karena versi tersebut berasal dari kata ‘Batur’ dan ‘Raden’ menjadi ‘BATURRADEN’.
Cerita lengkapnya adalah demikian: Di Kadipaten Kutaliman
hiduplah seorang pembantu yang bernama Suta. Pekerjaan atau tugas
sehari-hari Suta adalah merawat kuda milik sang Adipati. Setelah selesai
mengerjakan tugas, Suta berjalan-jalan di sekitar Kadipaten, agar lebih
mengenal tempatnya bekerja. Suatu sore ketika Suta sedang
berjalan-jalan di sekitar tempat pemandian atau disebut Taman Sari, ia
dikejutkan oleh suara jeritan seorang wanita, Suta segera berlari ke
arah sumber jeritan tadi. Akhirnya ia tiba di suatu tempat
dekat sebuah pohon besar, dilihatnya seorang wanita yang ternyata salah
satu putri dari adipati sedang menjerit ketakutan. Didekatnya ada seekor
ular yang sangat besar sedang bergantung pada cabang pohon itu sambil
mulutnya menganga siap untuk menelan putri yang sedang ketakutan. Suta
sendiri sebenarnya sangat takut melihat ular tersebut, namun melihat
keadaan putri adipati yang pucat ketakutan itu, timbul keberaniannya
untuk membunuh ular tersebut. Diambilnya bambu yang cukup besar,
dipukulkannya pada kepala ular tersebut sampai berkali-kali. Ular itu
menggeliat kesakitan tapi tidak berapa lama kemudian ular tersebut
terdiam tidak bergerak, rupanya sudah mati. Sejak peristiwa
itu, sang putri adipati semakin akrab berteman dengan Suta. Bahkan
keduanya kemudian saling jatuh hati dan berjanji sehidup semati berdua.
Hubungan kedua insan yang saling mencinta itu akhirnya
diketahui oleh sang adipati, maka sang adipati menjadi murka. “Dia hanya
seorang batur! Sedangkan dirimu adalah seorang raden, putri seorang
adipati. Kau tak boleh menikah dengannya anakku!” kata sang adipati.
Mendengar kata-kata ayahnya, sang putri sangat sedih, apalagi ketika mendengar kabar bahwa Suta dimasukkan penjara bawah tanah oleh sang adipati. Kesalahan Suta ialah karena berani berpacaran dengan putri seorang adipati, yang derajat dan martabatnya lebih tinggi darinya.
Di dalam Penjara, Suta tidak diberi makan dan minum, bahkan ruang penjaranya digenangi air setinggi pinggang, akibatnya Suta terserang penyakit demam. Mendengar kabar keadaan Suta, sang putri bertekad untuk membebaskan kekasihnya itu.
“Emban, aku harus bisa membebaskan Kang Suta. Kasihan dia, dahulu ia menolong saya. Saya telah berhutang nyawa kepadanya. Bantulah aku, Emban.” kata sang putri kepada pengasuhnya.
Pengasuh tersebut mengetahui perasaan sang putri. Dia juga merasa iba mendengar keadaan Suta yang sedang sakit di penjara. Maka pengasuh tersebut diam-diam menyelinap di penjara bawah tanah. Akhirnya ia berhasil membebaskan pemuda malang itu dan dibawanya ke suatu tempat. Di sana sang putri telah menunggu dengan seekor kuda.
Kemudian dengan menunggang seekor kuda, mereka berdua pergi meninggalkan Kadipaten. Dalam perjalanan keduanya menyamar sebagai pasangan suami-istri rakyat biasa karena sang putri sudah hamil tua, sehingga tidak dikenali orang.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, sampailah keduanya di tepi sebuah sungai. Mereka beristirahat untuk melepas lelah dan sang putri merawat Suta yang masih sakit.
Berkat kesabaran dan ketelatenan sang putri merawat Suta dan beberapa hari kemudian pemuda itu akhirnya sembuh seperti sediakala. Kemudian keduanya memutuskan untuk menetap disana. Tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Baturaden, yang berarti Batur dan Raden.
Versi Syekh Maulana MaghribiMendengar kata-kata ayahnya, sang putri sangat sedih, apalagi ketika mendengar kabar bahwa Suta dimasukkan penjara bawah tanah oleh sang adipati. Kesalahan Suta ialah karena berani berpacaran dengan putri seorang adipati, yang derajat dan martabatnya lebih tinggi darinya.
Di dalam Penjara, Suta tidak diberi makan dan minum, bahkan ruang penjaranya digenangi air setinggi pinggang, akibatnya Suta terserang penyakit demam. Mendengar kabar keadaan Suta, sang putri bertekad untuk membebaskan kekasihnya itu.
“Emban, aku harus bisa membebaskan Kang Suta. Kasihan dia, dahulu ia menolong saya. Saya telah berhutang nyawa kepadanya. Bantulah aku, Emban.” kata sang putri kepada pengasuhnya.
Pengasuh tersebut mengetahui perasaan sang putri. Dia juga merasa iba mendengar keadaan Suta yang sedang sakit di penjara. Maka pengasuh tersebut diam-diam menyelinap di penjara bawah tanah. Akhirnya ia berhasil membebaskan pemuda malang itu dan dibawanya ke suatu tempat. Di sana sang putri telah menunggu dengan seekor kuda.
Kemudian dengan menunggang seekor kuda, mereka berdua pergi meninggalkan Kadipaten. Dalam perjalanan keduanya menyamar sebagai pasangan suami-istri rakyat biasa karena sang putri sudah hamil tua, sehingga tidak dikenali orang.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, sampailah keduanya di tepi sebuah sungai. Mereka beristirahat untuk melepas lelah dan sang putri merawat Suta yang masih sakit.
Berkat kesabaran dan ketelatenan sang putri merawat Suta dan beberapa hari kemudian pemuda itu akhirnya sembuh seperti sediakala. Kemudian keduanya memutuskan untuk menetap disana. Tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Baturaden, yang berarti Batur dan Raden.
Konon di Negara Rum, bertahta
seorang Pangeran bernama Syekh Maulana Maghribi berasal dari Turki yang
memeluk agama Islam dan dia adalah seorang ulama. Pada waktu fajar
menyingsing, setelah beliau melakukan kewajibannya selaku orang muslim,
terlihatlah oleh beliau cahaya terang misterius bersinar disebelah timur
menjulang tinggi di angkasa. Terdorong oleh perasaan ingin mengetahui
tempat darimana cahaya terang misterius itu datang dan makna dari cahaya
terang tersebut, maka timbullah niat dan itikad yang kuat di dalam
sanubarinya dan mencari tempat yang dimaksud. Seorang sahabatnya bernama
Haji Datuk dipanggil dan diperintahkan supaya para hulubalang dan
balatentaranya menyiapkan armada dengan segala perlengkapannya untuk
berlayar menuju kearah datangnya cahaya misterius tersebut.
Maka,berangkatlah si Pangeran bersama-sama dengan sahabatnya itu 298
(dengan dua ratus sembilan puluh delapan) orang pengikutnya mengarungi
samudera menuju kearah terlihatnya cahaya itu memancar selama 40 malam.
Kemudian sampailah mereka di
ujung timur sebuah pulau yang bernama dengan Pulau Jawa. Adapun tempat
dimana mereka membuang sauh dewasa ini terkenal dengan nama Pantai
Gresik. Meskipun mereka telah lama menempuh perjalanan penuh dengan
berbagai kesulitan dan penderitaan serta menghadapi bermacam-macam
marabahaya, mereka belum mencapai apa yang menjadi cita-cita atau
tujuannya karena cahaya terang misterius tersebut tampak disebelah
barat. Pada suatu waktu terlihat kembali cahaya terang yang sedang
dicarinya itu disebelah barat dan mereka mengambil keputusan kembali
karah barat dengan menempuh jalan di laut Jawa di pantai Pemalang Jawa
Tangah, dimana mereka berlabuh sambil sekedar melepas lelah. Ditempat
ini Syekh Maulana Maghribi meminta para armadanya untuk pulang ke
negerinya, sedangkan Syekh Maulana Maghribi ditemani oleh Haji Datuk dan
untuk sementara bermukim ditempat itu.
Karena mereka mempunyai kepercayan pada Yang Maha Pencipta, mereka dijiwai oleh kekuatan Gaib yang tiada kunjung padam dan berketetapan hati akan melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki menuju kearah Selatan sambil menyebarkan agama Islam. Dari Pemalang mereka menuju ke selatan menyusuri hutan belantara tanpa mengenal bahaya yang dihadapinya karena tertarik sinar cahaya misterius yang sekarang terlihat di Timur Laut. Berhubung jalur yang ditempuhnya itu meletihkan, maka mereka berhenti sejenak untuk melepaskan lelahnya sambil termenung merasakan kisah perjalanannya serta kewajibannya yang dibebankan diatas pundaknya untuk menyebarluaskan agama Islam. Tempat dimana mereka beristirahat dengan diliputi pikiran-pikiran (gagasan-gagasan) dan perasaan-perasaan yang memenuhi hati sanubarinya diberi nama ‘Paduraksa’ yang artinya bertengkar didalam kalbu atau rasa.
Karena mereka mempunyai kepercayan pada Yang Maha Pencipta, mereka dijiwai oleh kekuatan Gaib yang tiada kunjung padam dan berketetapan hati akan melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki menuju kearah Selatan sambil menyebarkan agama Islam. Dari Pemalang mereka menuju ke selatan menyusuri hutan belantara tanpa mengenal bahaya yang dihadapinya karena tertarik sinar cahaya misterius yang sekarang terlihat di Timur Laut. Berhubung jalur yang ditempuhnya itu meletihkan, maka mereka berhenti sejenak untuk melepaskan lelahnya sambil termenung merasakan kisah perjalanannya serta kewajibannya yang dibebankan diatas pundaknya untuk menyebarluaskan agama Islam. Tempat dimana mereka beristirahat dengan diliputi pikiran-pikiran (gagasan-gagasan) dan perasaan-perasaan yang memenuhi hati sanubarinya diberi nama ‘Paduraksa’ yang artinya bertengkar didalam kalbu atau rasa.
Dari tempat itu mereka meneruskan
perjalanannya ke selatan lagi dan sampailah mereka di hutan belukar dan
untuk melepaskan lelahnya mereka singgah diatas tonggak randu yang
tumbang dan tempat tersebut mereka beri nama ‘Randudongkal’. Dari tempat
peristirahatannya itu, cahaya terang masih kelihatan ada di timur laut,
dan mereka meneruskan perjalanannya menuju arah cahaya tadi. Dan
sebelum mereka sampai ketempat yang menjadi tujuannya mereka berhenti
untuk beristirahat di dekat Sendang (kolam) untuk melakukan ibadah
Sholat, dan sesudahnya tempat tersebut diberi nama ‘Belik’. Setelah
melakukan Sholat, maka perjalanan diteruskan kearah timur dan sampailah
disuatu tempat, dimana terdapat banyak batu-batuan dan di tempat
tersebut mereka beristirahat lagi sambil memikirkan bagaimana cara
mereka dapat menjangkau tempat kedudukan cahaya yang dicarinya, karena
cahaya terang tersebut terlihat ada dipuncak Gunung. Tempat dimana
mereka beristirahat dan terdapat banyak batu-batuan itu diberi nama
‘Watu Kumpul’.
Karena tekadnya yang kuat,
pendakian itu dilakukan hingga akhirnya sampailah mereka di tempat yang
dituju. Terlihat oleh mereka seorang pertapa yang menyandarkan dirinya
pada sebatang pohon jambu yang mengeluarkan sinar yang bercahaya
menjulang tinggi ke angkasa. Perlahan-lahan Syekh Maulana Maghribi dan
Haji Datuk menuju mendekati tempat tersebut sambil mengucapkan salam
‘Assalamu’alaikum’, tetapi tidak dijawabnya oleh si petapa meskipun
berulangkali diucapkan. Setelah ternyata salamnya tidak mendapat
jawaban, maka Haji Datuk berkata pada Syekh Maulana Maghribi : ‘Kiranya
pertapa itu adalah seorang Budha’. Mendengar perkataan tersebut, si
petapa itu lalu menjawab : ‘Sesungguhnya saya ini adalah orang Budha
yang Sakti’. Mendengar kata-kata sakti maka Syekh Maulana Maghribi
meminta kepada pemeluk agama Budha tadi, bahwa beliau ingin melihat atau
menyaksikan kesaktiannya,maka diambillah tutup kepalanya yang berupa
kopiah itu dapat terbang di angkasa. Syekh Maulana Maghribi tergolong
orang yang mempunyai kesaktian dan didorong oleh rasa ingin mengimbangi
kemukjizatan si pertapa itu, lalu melepaskan bajunya dan dilemparkan
keatas, ternyata baju tersebut dapat terbang di udara dan selalu
menutupi kopiah si pertapa yang menandakan bahwa kesaktiannya lebih
unggul dari kesaktian orang Budha itu,tetapi ia belum mau menyerah dan
masih akan mempertontonkan lagi kepandaiannya yang berujud menyusun
telur setinggi langit. Melihat keadaan tersebut diatas Syekh Maulana
Maghribi merasa heran, namun demikian ia tidak mau dikalahkan begitu
saja, maka dengan tenangnya diperintahkan kepada si pertapa agar ia mau
mengambil telur itu satu persatu dari bawah tanpa ada yang jatuh.
Ternyata pertapa itu tidak sanggup melakukannya. Karena si pertapa sudah
benar-benar tidak melakukannya hal tersebut, maka Syekh Maulana
Maghribi mengambil tumpukan telur tadi dimulai dari bawah sampai selesai
dengan tidak ada satupun yang jatuh.
Syekh Maulana Maghribi masih
merasa belum puas dan masih meneruskan perjuangannya sekali lagi dengan
memperlihatkan pemupukan periuk-periuk berisi air sampai menjulng
tinggi. Lalu, Syekh Maulana Maghribi berkata : ‘Ambillah periuk-periuk
itu satu demi satu dari bawah tanpa ada yang berjatuhan’. Setelah
ternyata tidak ada kesanggupan daari si pertapa, maka beliau sendirilah
yang melakukannya dan periuk yang terakhir itu pecah dan airnya memancar
kesegala penjuru.
Akhirnya si pertapa yang mengaku bernama ‘Jambu Karang’ (nama tersebut berasal dari pohon sandarannya, yaitu sebatang pohon jambu dimana disekelilingnya terdapat batu-batuan) menyerah kalah serta berjanji akan memeluk agama Islam. Janji tersebut diterima oleh Syekh Maulana Maghribi dan Jambu Karang diperintahkan untuk memotong rambut dan kukunya dan selnjutnya dikubur di ‘Penungkulan’ (tempat dimana si pertapa menyerah kalah). Kemudian dilakukan upacara penyucian dengan air zam-zam yng dibawa oleh Haji Datuk dari Tanah Suci atas perintah Syekh Maulana Maghribi dengan mempergunakan tempat dari bambu (bumbung). Setelah upacara penyucian selesai, bumbung berisikan sisa air disandarkan pada pohon waru, tetap karena kurang cermat menyandarkannya maka robohlah bumbung tadi dan pecah sehingga air sisa tersebut berhamburan dan di tempat tersebut konon kabarnya menjadi mata air yng tidak mengenal kering dimusim kemarau.
Akhirnya si pertapa yang mengaku bernama ‘Jambu Karang’ (nama tersebut berasal dari pohon sandarannya, yaitu sebatang pohon jambu dimana disekelilingnya terdapat batu-batuan) menyerah kalah serta berjanji akan memeluk agama Islam. Janji tersebut diterima oleh Syekh Maulana Maghribi dan Jambu Karang diperintahkan untuk memotong rambut dan kukunya dan selnjutnya dikubur di ‘Penungkulan’ (tempat dimana si pertapa menyerah kalah). Kemudian dilakukan upacara penyucian dengan air zam-zam yng dibawa oleh Haji Datuk dari Tanah Suci atas perintah Syekh Maulana Maghribi dengan mempergunakan tempat dari bambu (bumbung). Setelah upacara penyucian selesai, bumbung berisikan sisa air disandarkan pada pohon waru, tetap karena kurang cermat menyandarkannya maka robohlah bumbung tadi dan pecah sehingga air sisa tersebut berhamburan dan di tempat tersebut konon kabarnya menjadi mata air yng tidak mengenal kering dimusim kemarau.
Setelah pertapa disucikan menjadi
pemeluk agama Islam, maka namanya diubah menjadi ‘Syekh Jambu Karang’.
KemudianSyekh Jambu Karang akan mendapatkan wejangan (bai’at), beliau
menunjukkan suatu tempat yang serasi dan cocok untuk upacara bai’at
tersebut yaitu diatas bukit ‘Kraton’. Sesaat setelah Syekh Jambu Karang
menerima wejangan, turun hujan lebat disertai dengan angin ribut yang
mengakibatkan pohon-pohon disekeliling tempat itu menundukkan
dahan-dahannya seperti sedang menghormati Gunung Kraton yaitu tempat
dimana Syekh Maulana Maghribi sedang memberikan wejangan (membai’at)
Syekh Jambu Karang menjadi seorang Muslim. Menurut hikayatnya, Syekh
Jambu Karang mempunyai seorang putri bernama ‘Rubiah Bhakti’ yang
dipersunting oleh Syekh Maulana Maghribi, setelah Syekh Jambu Karang
menjadi seorang Muslim dengan mas kawin berupa mas merah setanah Jawa.
Setelah memperistrikan putri Syekh Jambu Karang, Syekh Maulana Maghribi
berganti nama menjadi ‘Atas Angin’. Dari perkawinannya tersebut
menurunkan lima orang putera dan puteri, yaitu : 1. Makdum Kusen (Makam di Rajawana)
2. Makdum Medem (Makam di Cirebon)
3. Makdum Umar (Makam diKarimun Jawa)
4. Makdum (yang menghilang atau murca)
5. Makdum Sekar (Makam di Gunung Jembangan) Adapun Syekh Jambu Karang tetap bermukim di Gunung Kraton, dan setelah wafat dimakamkan ditempat itu pula dan tempat pemakamannya disebut ‘Gunung Munggul’ (puncak yang tertinggi didaerah itu).
Syekh Maulana Maghribi yang terkenal dengan ‘Mbah Atas Angin’ selama empat puluh lima tahun bermukim disuatu tempat atau pedukuhan yang bernama ‘Banjar Cahayana’ (mungkin tempat tersebut didiami setelah menemukan cahayanya). Di tempat tersebut Mbah Atas Angin menderita penyakit gatal-gatal yang susah disembuhkan. Hal ini menimbulkan keprihatinan disertai dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya diberi rahmat serta berkah terhindar dari penyakitnya itu.
Sesudah sholat Tahajud.dia
mendapat Ilham bahwa dia harus pergi ke Gunung ‘Gora’ dimana ia akan
mendapatkan obat mujarab untuk menyembuhkan penyakitnya itu. Kemudian
pagi-pagi waktu Shubuh Mbah Atas Angin bersama Haji Datuk pergi kearah
barat dan pada siang hari sampailah mereka dilereng Gunung Gora. Sesudah
sampai di lereng Gunung Gora beliau meminta Haji Datuk untuk
meninggalkannya dan beristirahat sambil menunggu di tempat yang datar,
sebab Mbah Atas Angin akan meneruskan perjalanannya kearah suatu tempat
yang mengepulkan asap. Ternyata disitu ada sumber air panas dan Syekh
Maulana Maghribi menyebutnya ‘Pancuran Pitu’ yang artinya sebuah sumber
air panas yang mempunyai tujuh mata air. Setiap hari Syekh Maulana
Maghribi mandi secara teratur di tempat itu, dengan begitu dia sembuh
dari penyakit gatalnya. Sesudahnya beliau memanjatkan do’a syukur
kehadirat Illahi serta mengucap syukur bahwasanya ia telah dikaruniai
sembuh dari sakitnya yang telah sangat lama dideritanya. Setelah ia
kembali ketempat dimana Haji Datuk menunggu, ia berkata : Saksikanlah, saya sekarang telah sembuh dari sakitku dan telah terhindar dari penderitaan. Selanjutnya Dia mengganti nama Gunung Gora itu menjadi ‘Gunung Slamet’. Slamet dalam bahasa Jawa berarti aman.
Selama Syekh Maulana Maghribi berobat di Pancuran Pitu, Haji Datuk
tetap dan taat menunggu ditempat yang ditunjuk semula dan kepadanya
diberi julukan ‘Haji Datuk Rusuladi’. Rusuladi artinya ‘Batur Yang Baik’
(Adi). Dan konon kabarnya tempat tersebut oleh penduduk sekitarnya
hingga kini disebut dengan ‘BATURRADEN’
2. Makdum Medem (Makam di Cirebon)
3. Makdum Umar (Makam diKarimun Jawa)
4. Makdum (yang menghilang atau murca)
5. Makdum Sekar (Makam di Gunung Jembangan) Adapun Syekh Jambu Karang tetap bermukim di Gunung Kraton, dan setelah wafat dimakamkan ditempat itu pula dan tempat pemakamannya disebut ‘Gunung Munggul’ (puncak yang tertinggi didaerah itu).
Syekh Maulana Maghribi yang terkenal dengan ‘Mbah Atas Angin’ selama empat puluh lima tahun bermukim disuatu tempat atau pedukuhan yang bernama ‘Banjar Cahayana’ (mungkin tempat tersebut didiami setelah menemukan cahayanya). Di tempat tersebut Mbah Atas Angin menderita penyakit gatal-gatal yang susah disembuhkan. Hal ini menimbulkan keprihatinan disertai dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya diberi rahmat serta berkah terhindar dari penyakitnya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar